Gaduh di Media Sosial Soal Resesi, Masyarakat Tidak Yakin dan Khawatir Terhadap Resesi Namun Tetap Waspada Terhadap Dampaknya

Sumber: Kemenkop UMKM

Akhir-akhir ini, kekhawatiran akan terjadinya resesi bisa terdengar di mana-mana. Di lingkup global, sudah ada negara yang mengalami resesi dan terancam akan terkena resesi. Tidak dipungkiri, pemulihan setelah pandemi yang terlalu kencang justru membuat harga-harga naik karena adanya gap antara ekspektasi ekonomi dan penyesuaian kemampuan produsen dan konsumen dalam sirkulasi ekonomi.

Pemberitaan dan isu resesi yang ada bisa menjadikan masyarakat khawatir terhadap kondisi ekonomi. Kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi tersebut nantinya akan merubah ekspektasi masyarakat terhadap ekonomi dan tentunya juga merubah perilaku masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan cenderung menabung dibandingkan memutar uang karena khawatir akan terjadi resesi dan uangnya tidak cukup.

Jika rentetan hal tersebut terjadi, maka variabel selanjutnya yang akan terkena efek domino adalah jumlah konsumsi masyarakat. Dengan turunnya konsumsi maka para produsen harus mencari cara agar bisnisnya tetap berjalan dan sebagainya. Selanjutnya, karena ekonomi lesu, yang terjadi adalah stagnasi ekonomi dan juga berpotensi timbulnya resesi.

Dari banyaknya pihak yang terlibat dengan opini dan arah yang bermacam-macam, Tim Continuum mencoba mengemas diskursus yang ada dalam laporan ini. Kami mencoba menggunakan pendekatan survei dan data crawling dari media sosial yang digabungkan dengan data ekonomi untuk mendapatkan gambaran bagaimana respon dan opini masyarakat terhadap ekspektasi ekonomi.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 17 Oktober 2022 sampai 30 November 2022, Tim Continuum justru mendapatkan temuan unik yang cukup berbeda dengan dugaan kami sebelum menggali data yang tersedia. Meskipun ramai perbincangannya, data media sosial justru menunjukkan bahwa sebenarnya mayoritas masyarakat tidak khawatir, rasionya pun sangat kontras (5% dan 95%).

Dari 5% obrolan yang bersentimen khawatir, kami juga membedahnya berdasarkan faktor yang membuat mereka khawatir. Yang tertinggi adalah kenaikan harga/inflasi, lalu ada krisis pangan, pemutusan hubungan kerja (PHK), kesulitan mencari kerja, dan potensi meningkatnya kriminalitas.

Faktor kekhawatiran tersebut memang cukup umum dikaitkan dengan resesi ekonomi. Pada banyak kasus resesi, terjadi siklus stagflasi di mana tidak ada pertumbuhan ekonomi (stagnasi) namun tetap terjadi inflasi. Kondisi seperti ini akan merambat ke berbagai aspek lainnya, salah satunya pasar kerja, dan memaksa pengusaha untuk melakukan PHK demi efisiensi biaya.

Jika terus berlangsung atau skalanya cukup parah, bisa saja terjadi krisis ekonomi merambat menjadi krisis sosial dan politik. Keadaan seperti ini bisa meningkatkan kriminalitas, krisis kepemimpinan, dan memburuknya kondisi institusi sosial yang ada di negara.

Walaupun tidak yakin dan khawatir, masyarakat tetap waspada terhadap dampak dari resesi bilamana terjadi. Kenaikan harga merupakan hal yang paling diwaspadai karena besarnya potensi inflasi. Selanjutnya, ada kewaspadaan terhadap potensi terjadinya krisis pangan dan PHK karena krisis ekonomi tentunya membuat ekonomi macet dan memaksa pelaku usaha untuk melakukan efisiensi atau bahkan gulung tikar. Terakhir, jika terus bergulir, bisa juga terjadi kriminalitas dan hal ini juga diwaspadai walaupun tidak sebesar dampak utama, yaitu dampak ekonomi.

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on pinterest
Pinterest