Turunnya kasus penyebaran, vaksinasi, dan masalah-masalah pembelajaran jarak jauh bermuara pada diinstruksikannya pembelajaran tatap muka dalam waktu dekat. Meskipun sudah banyak indikator positif yang menunjukkan kesiapan penyelanggaran (pembelajaran tatap muka) PTM, ternyata masih banyak masyarakat yang meragukan penyelanggaran PTM. Ditengah terbelahnya pendapat masyarakat, muncul klaster baru sebagai katalis argumen kontra PTM. Dikala terjadi perbedaan pendapat mengenai PTM, bagaimana warganet menanggapinya?
Setelah sempat naik dan mencetak rekor penularan harian tertinggi pada pertengahan 2021, kini penularan Covid-19 sudah menurun drastis. Penurunan kasus harian tersebut merupakan dampak dari pemberlakuan PPKM yang mempersulit penyebaran virus. PPKM yang diberlakukan juga dibarengi dengan berbagai macam kebijakan dalam mencegah dan menangani pandemi, seperti vaksinasi masal, penerapan protokol kesehatan, dan lainnya berhasil menurunkan kasus penyebaran harian. Tidak hanya turunnya penyebaran dari gelombang kedua, kebijakan-kebijakan penanganan pendemi tersebut juga berhasil membantu terciptanya rekor penularan terendah sejak 2021.
Bersama turunnya penyebaran virus, wacana-wacana untuk mengembalikan kebiasaan sebelum pandemi banyak dibicarakan, salah satunya sekolah tatap muka. Selama pandemi, pembelajaran hampir seluruhnya dilakukan secara daring. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan, membuat banyak siswa yang kesulitan dalam mencerna bahan ajar yang diberikan. Tidak hanya keseulitan belajar, juga banyak siswa yang tidak antusias dalam melakukan pembelajaran karena dianggap menyulitkan.
Selain siswa, orang tua juga banyak yang mengeluhkan proses pembelajaran jarak jauh yang dianggap memberatkan. Di masa pandemi seperti sekarang, banyak orang tua yang pendapatannya turun atau bahkan hilang karena pandemi sehingga kesulitan untuk membayar biaya pendidikan. Faktor lain yang juga membuat banyak orang tua keberatan terhadap PJJ adalah efektivitas pembelajaran. Banyak dari mereka yang mengeluhkan anaknya tidak bisa belajar dengan baik dan merasa biaya yang dibayarkan tidak sesuai dengan pendidikan yang diterima anaknya. Pun begitu, di sisi lain orang tua juga khawatir terhadap keselamatan anaknya jika tidak diadakan PJJ.
Menanggapi keluh-kesah dan ketidakefektifan PJJ, banyak tokoh publik yang menyarankan agar pembelajaran tatap muka diadakan segera. Pada 13 September 2021 Joko Widodo lewat akun twitternya juga mulai menginstruksikan untuk diadakannya pembelajaran tatap muka dengan memperhatikan protokol kesehatan. Jika dilihat dari aspek pendukungnya, PTM memang sudah sangat mungkin dicoba dengan pertimbangan turunnya kasus secara drastis, vaksinasi masal, dan masyarakat yang sudah paham pentingnya protokol kesehatan.
Akhirnya, pembelajaran tatap muka mulai dirintis di berbagai daerah yang sudah memiliki kasus harian rendah dan berada setidaknya di kategori PPKM level 3. PTM yang direncanakan seaman mungkin ternyata menimbulkan klaster penyebaran baru. Klaster baru tersebut juga manambah kehawatiran baik pemerintah, penyelenggara kegiatan belajar mengajar, maupun orang tua siswa. Klaster baru akhirnya ramai diberitakan dan dibicarakan di media sosial.
Menanggapi kebijakan untuk memulai PTM, sebagian masyarakat mendukung dengan beberapa alasan. Alasan yang paling dominan untuk mendukung diadakannya PTM adalah keinginan orang tua dan siswa untuk merasakan pendidikan seperti sebelum pandemi (59%). Selebihnya ada yang beralasan karena ingin melihat anaknya sekolah tatap muka (21%) dan tidak ingin anaknya sekolah daring karena tidak memahami pelajaran (19%). Sedangkan dari kubu kontra terhadap penyelenggaraan PTM mayoritas beralasan karena sulitnya penerapan PTM (51%). Sisanya mengutarakan ketidaksetujuannya karena sekeluarga harus divaksin (15%), malas masuk sekolah (8%), belum siap untuk PTM (5%), dan alasan lainnya. Secara agregat, lebih banyak masyarakat yang tidak setuju diselenggarakan PTM karena alasan-alasan di atas.