Kereta Cepat Tapi Lambat Jakarta-Bandung

Sumber: KCIC.id

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) merupakan salah satu proyek mahal yang kini banyak disoroti oleh banyak pihak. Proyek ini menimbulkan banyak kontra karena dianggap berpotensi merugikan negara. Biaya yang membengkak, jangka waktu balik modal, sampai diikutsertakannya APBN dalam pembiayaan menjadi kritik utama yang banyak dilayangkan oleh masyarakat.

Dilansir dari Kontan.co.id, dari awal perencanaan biaya Rp 86,5 triliun atau US$ 6,07 miliar. Kini terjadi pembengkakan biaya sampai Rp 27,74 triliun, atau lebih dari 30 persen biaya awal. Kini biaya yang sampai Rp 114, 24 triliun menjadi lebih mahal dari yang ditawarkan oleh Jepang yaitu US$ 6,2 miliar di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman 40 tahun dengan bunga 0,1 persen.

Jika dibandingkan, tentunya skenario kerjasama KCJB dengan Jepang bisa dibilang lebih menguntungkan karena bunga pinjaman yang rendah, rasio pembiayaan yang besar, dan perbedaan biaya awal yang sedikit yang bisa ditukar dengan kepercayaan dan integritas negeri sakura tersebut. Jepang menawarkan proposal kepada pemerintah Presiden Joko Widodo lewat Japan International Cooperation Agency (JICA). Sejak 2014 JICA sudah menggelontorkan sampai US$ 3,5 juta untuk mendanai studi kelayakan.

Di tengah berjalannya lobi, tiba-tiba China muncul untuk menawarkan proyek pembangunan yang sama. Rini Soemarno yang kala itu menjabat Menteri BUMN menyambut baik niat China. Akhirnya, pemerintah Indonesia mempercayai China untuk proyek pembangunan KCJB. Beberapa alasan mengapa China dipilih adalah skema kepemilikan di mana 40 dimiliki oleh China dan 60 kepemilikan lokal, nilai investasi yang lebih murah, dan iming-iming bahwa ini murni B2B dan tidak akan membebani APBN.

Dari yang awalnya ditargetkan untuk selesai pada 2019 proyek KCJB tidak kunjung selesai sampai sekarang. Tidak hanya soal molornya pembangunan, diralatnya janji demi keberlangsungan pembangunan KCJB juga menjadi polemik tambahan. Pada Oktober 2021 Perpres No. 93/2021 ditandatangani yang salah satu isinya adalah dibolehkannya penggunaan APBN.

Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga banyak disoroti oleh masyarakat, salah satunya lewat sosial media. Mayoritas dari mereka mengungkapkan kekecewaannya terhadap proyek KCJB. Masyarakat melihat bahwa proyek KCJB merugikan negara (27,16%), terjadi inkonsistensi pemerintah (22,69%), perlunya berpikir ulang dalam mengambil keputusan (16,67%), dan kritik-kritik lainnya yang umumnya bersifat kontra terhadap proyek KCJB yang sedang berlangsung.

Data menunjukkan, kritik yang disampaikan mayoritas berasal dari wilayah Jabodetabek dan Bandung. Hal ini merupakan suatu yang wajar mengingat proyek ini memang ditujukan untuk konsumen di sekitar Jakarta dan Bandung.

Masukan-masukan yang sudah diutarakan oleh para pakar dari berbagai bidang serta masyarakat umum seharusnya bisa menjadi pelatuk bagi pemerintah untuk berbenah diri. Selain dianggap merupakan tindakan yang justru berpotensi menimbulkan kerugian, seharusnya pemerintah melihat bahwa proyek KCJB juga bisa menjadi ranjau politik baik internal maupun eksternal. Hal ini sudah terlihat dari membengkaknya biaya, molornya pembangunan, sampai ketergantungan terhadap pihak-pihak luar dalam pembangunan KCJB.

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on pinterest
Pinterest