Pemilu Serentak 2024 seharusnya bisa menjadi salah satu media pesta demokrasi yang dinikmati masyarakat. Sayangnya, muncul wacana penundaan pemilu dengan berbagai alasan seperti pemulihan ekonomi dan alasan-alasan klise lainnya. Diklaim disetujui banyak pihak, ternyata klaim tersebut tidak benar adanya dengan bukti lapangan yang bertentangan.
Per tanggal 31 Januari 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menerbitkan surat keputusan yang berisi ketetapan hari dan tanggal Pemilu Serentak Tahun 2024. Surat keputusan dengan nomor 21 Tahun 2022 tersebut menetapkan Pemilu Serentak akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024 akan dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Menanggapi pengumuman jadwal Pemilu 2024 yang diumumkan KPU, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengeluarkan pernyataan publik untuk menunda pemilu serentak. Usulan dari Muhaimin Iskandar untuk menunda pemilu disusul oleh dukungan dari Ketua Umum Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Di sisi lain, Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI sekaligus bagian dari PDIP menyatakan menolak usulan penundaan pemilu dan tetap setuju dengan ketetapan KPU untuk menyelanggarakan pemilu pada 14 Februari 2024. Kubu yang mendukung agar pemilu tetap sesuai jadwal KPU juga didukung olah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suharso Monoarfa. PKS yang kini menjadi oposisi pemerintah juga menolak wacana penundaan pemilu.
Bola usulan penundaan pemilu juga bergulir dengan kencang dan sempat direncanakan untuk dibahas lewat rapat koordinasi. Sayangnya, rapat koordinasi dengan surat nomor B-709/DN.00.03/3/2022 dibatalkan. Rapat koordinasi tersebut rencananya digelar untuk membahas isu penundaan Pemilu Serentak 2024 dan isu calon kepala daerah.
Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Polhukam mengeluarkan pernyataan publik untuk membatalkan rakor dengan Bawaslu dan KPU di Balikpapan. Pembatalan rakor dilakukan karena bisa saja memunculkan spekulasi-spekulasi liar yang bisa beredar lebih jauh di masyarakat luas.
Terkait penundaan pemilu dan perpanjangan periode, Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri yang sekarang banyak menangani masalah krusial juga membuat pernyataan publik yang menarik banyak perhatian. Menurutnya penundaan pemilu didukung oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan pernyataannya, terdapat 110 juta dukungan yang dilayangkan masyarakat lewat media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Pernyataan Menteri Maritim dan Investasi tersebut diragukan oleh banyak pihak, bahkan disebut-sebut sebagai hoaks. Untuk membuktikan keadaan sebenarnya, lembaga-lembaga riset yang juga mengolah big data sosial media sudah banyak yang melakukan riset terkait dukungan terhadap penundaan pemilu. Hasil dari riset-riset big data sosial media menolak klaim Luhut.
Continuum Data Indonesia sebagai lembaga penelitian big data juga menemukan hasil yang bertolak belakang dengan pernyataan dukungan terhadap penundaan pemilu. Berdasarkan data yang Tim Continuum kumpulkan, mayoritas masyarakat menolak penundaan pemilu. Lebih dari 2/3 dari total data berisi penolakan terhadap penundaan pemilu yang umumnya beralasan bahwa penundaan pemilu tidak mencerminkan keinginan masyarakat luas dan hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
Jika dipecah berdasarkan topik-topiknya, penolakan terhadap penundaan pemilu disebabkan karena masyarakat beranggapan bahwa penundaan pemilu merupakan proyek oligarki, keharusan adanya amandemen UUD 1945, adanya elit politik yang tidak siap menghadapi pemilu, bahkan dugaan-dugaan liar seperti akan munculnya pemerintahan otoriter.
Terkait pembahasan penundaan pemilu di sosial media, pembicaraan bergulir cukup hangat dari hari ke harinya dengan puncaknya terjadi pada tanggal 3 Maret 2022 karena pernyataan bahwa wacana penundaan pemilu bersumber dari Luhut.