“These engineered human beings may be happy in such a society, but they most certainly will not be free. They will have been reduced to the status of domestic animals”
– Theodore Kaczynski, Industrial Society and Its Future
Pada tahun 2019, Facebook yang merupakan raksasa sosial media meluncurkan Facebook Horizon. Facebook Horizon dikembangkan sebagai ‘social VR’ atau sosial media yang menggunakan teknologi VR (virtual reality) untuk berkomunikasi.
Setelah itu, pada tahun 2021 Facebook yang kini bernama Meta berniat mengembangkan metaverse. Metaverse yang dikembangkan Facebook cukup ‘booming’ karena marketing dari pihak Facebook yang cukup kencang dan banyaknya pengguna sosial media milik Facebook seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram.
Walaupun baru banyak dibicarakan sekarang-sekarang ini, sejatinya teknologi metaverse sudah ada sejak lama. Bahkan, jika diperluas lagi makna dari metaverse, sudah banyak video games dan teknologi VR yang bisa dikategorikan metaverse.
Metaverse yang kini dikembangkan Facebook menurut sebagian pihak cukup potensial dan akan banyak diadopsi di masa depan. Di sisi lain, juga banyak kritik terhadap metaverse dengan argumen terkait kelayakan dan kemudahan akses (feasibility), privasi, keselamatan pengguna, dan isu sosial. Frances Haugen, seorang whistleblower Facebook juga mengkritik pengembangan metaverse akan merugikan Meta (Facebook) karena kurang prospektif dan maraknya isu disekitar pengembangan dan eksekusinya.
Seperti dugaan banyak orang, Indonesia akhirnya ingin ikutan mencoba implementasi metaverse. Topik metaverse banyak didiskusikan bersama topik digital lain pada umumnya sampai topik ibukota baru.
Di lingkungan pemerintahan, salah satu yang ingin menerapkan metaverse adalah Kemendagri. Kemendagri mencoba mengintegrasikan metaverse dalam proses administrasi yang ada di Kemendagri. Sayangnya, saat kini masih baru rencana, sudah banyak pihak yang mengkritisi soal metaverse yang mau diadopsi teknologinya oleh Kemendagri.
Banyak pihak bersikap skeptis dan kritis terhadap adopsi teknologi ini di elemen pemerintahan. Kritik-kritik yang bermunculan umumnya berisi bahwa pemerintah hanya FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan tren saja, padahal substansinya tidak jelas. Selain itu, juga banyak masukan dari warganet bahwa sebaiknya pemerintah (terutama Kemendagri) mengurusi masalah yang belum selesai, contohnya kasis KTP-el.
Masyarakat juga sudah banyak yang menduga bahwa proyek adopsi metaverse bisa berbuntut korupsi. Hal ini didasarkan dengan beberapa parameter seperti rencana proyek yang tiba-tiba muncul, substansi yang minim, dan didasarkan pada tindakan impulsif kolektif.
Tidak hanya pada kasus metarverse saja, kejadian seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya. Sebut saja industry 4.0, SDGs, big data, cryptocurrency, sampai tren baru NFT. Banyak dari birokrat kita yang menggembor-gemborkan hal tersebut padahal tidak paham arti dan substansinya bagi masyarakat luas. Mulai dari acara publik, pernyataan, sampai proyek tidak jarang membawa jargon-jargon tersebut.
Terkait program metaverse dari Kemendagri, banyak masyarakat yang tidak setuju. Menurut mereka, masih banyak masalah yang lebih substansial terkait administrasi, contohnya kasus e-ktp, maraknya ‘joki sim’, pungli, dan lemotnya pengurusan administrasi di banyak daerah.
Sentimen negatif masyarakat bersumber dari kritik mereka terhadap penempatan prioritas yang tidak tepat oleh Kemendagri. Opini-opini yang beredar berisi kekhawatiran akan terjadi korupsi, belum selesainya urusan sidik jadi KTP-el, pengurusan administrasi yang terbilang belum maju, dan pelayanan publik yang kualitasnya masih mengecewakan.
Menanggapi boomingnya metaverse, sejatinya ‘program’ sejenis bukanlah hal yang baru. Sebelum muncul metaverse, sudah banyak teknologi sejenis yang menawarkan interaksi maya. Sebut saja Habbo Hotel, World of Warcraft, Minecraft, dan Roblox juga bisa menghadirkan interaksi sosial dan fiturnya bisa dikembangkan seperti metaverse.
Jika teknologi VR dan AR juga dipertimbangkan, VRChat yang sudah lama dikembangkan juga bisa menjadi alternatif. Pertimbangan-pertimbangan alternatif di atas tentunya didasarkan oleh beberapa aspek, mulai dari kemampuan komunikasi, kemampuan mengerjakan sesuatu di dunia virtual, pertmuan virtual, dan tempat virtual yang bisa dikondisikan oleh pengembang dan pengguna.
Sejatinya teknologi seperti AR dan VR yang dimiliki metaverse ataupun program sejenisnya masih bisa dimanfaatka, tetapi pada tempatnya. Contohnya pemerintah bisa saja mengembangkan teknologi tersebut untuk membangun berbagai macam simulator, penyimpanan, sampai pengembangan teknologi alat pertahanan militer seperti yang dilakukan oleh militer AS.
Selain tidak tepat sasaran, pengembangan yang sekarang dicanangkan oleh pemerintah tidak berguna bagi masyarakat luas mengingat hanya sebagian kecil (sangat kecil) yang bisa mengakses dengan pertimbangan butuhnya alat yang mahal, koneksi internet yang kencang, dan literasi digital yang memadai. Oleh karena itu, sebaiknya proyek ini dibatalkan atau dialihkan agar lebih tepat guna, tidak mengikuti tren saja.